Sejarah Majalah secara Umum
Majalah (magazine) adalah penerbitan berkala yang
berisi artikel, cerita, dan sebagainya. Kata ‘magazine’ berasal dari
Bahasa Perancis ‘magasin’ yang berarti gudang atau ruang
tempat menyimpan sesuatu.
Majalah pertama kali diperkenalkan di negara tersebut pada abad ke-17. Karakteristik majalah yang dikenal
pada masa itu adalah variasi tulisannya. Kini majalah dapat dibedakan dari
koran dan buku berdasarkan format, ragam isi, dan target khalayak yang lebih
spesifik (Rivers, 1983: 5).
Sejarah
Majalah di Indonesia
Pada masa-masa awal penerbitan pers, majalah lebih banyak
digunakan sebagai media penggerak massa untuk melawan pemerintahan yang tidak
berpihak pada masyarakat. Selain itu, majalah juga dijadikan alat penyebaran
ideologi, kebijakan, atau untuk memperjuangkan kepentingan kelompok tertentu.
Singkatnya, penggunaan majalah pada masa itu cenderung idealis dan
politis.
Kemudian setelah konflik politik mengendur, pers muncul
dengan lebih liberal. Sisi idealisme mulai tergeser dengan kepentingan bisnis. Majalah-majalah baru yang
berkonten umum (membahas banyak hal) pun bermunculan dengan tujuan meraih pasar seluas-luasnya
sehingga dapat menghasilkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Di tengah tren majalah umum, majalah De Cranie berani
berbeda dengan menjadi majalah yang
fokus menyuarakan aspirasi kaum kerani (pegawai administrasi). Majalah ini
terbit tahun 1914. Setelah itu, pada 1939 di Banjarmasin terbit majalah dwimingguan Perintis yang membidik target khalayak spesifik, yakni para supir. Namun kedua majalah
tersebut berumur pendek (Junaedhie, 1995: 195).
Sekitar tahun 1993 gejala itu muncul lagi. Beberapa majalah
terbitan baru memiliki lingkup bahasan dan target pembaca yang lebih sempit. Di kemudian hari, majalah
jenis ini disebut majalah khusus. Kurniawan Junaedhie (1995: 194)
mendefinisikan majalah khusus sebagai “majalah-majalah yang hanya membahas
sesuatu hal, tapi sama sekali tidak membahas semua hal”.
Melihat kecenderungan ini, menjelang abad ke-20, Jakob
Oetama meramalkan bahwa majalah khusus akan menjadi tren penerbitan
selanjutnya. Arswendo Atmowiloto dan David Sparkers (tenaga ahli biro Survey
Research Indonesia) mendukung pernyataan tersebut. David menambahkan
argumentasinya. Faktor pertama adalah situasi ekonomi Indonesia yang membaik,
sehingga masyarakat rela mengeluarkan uang untuk membeli majalah. Faktor kedua,
lapisan piramida penduduk paling tebal saat itu adalah di kelompok umur 15-19
tahun, di mana mereka dipandang mengenyam pendidikan layak, dan oleh karena itu berpotensi
menjadi pembaca atau pembeli (Junaedhie, 1995: 194).
Sejak prediksi tersebut menjadi kenyataan, banyak hal yang
berubah dari bisnis penerbitan majalah. Persaingan melonggar karena tiap
majalah punya target khalayak masing-masing yang berbeda
satu dengan lainnya.
Selain itu pengiklan pun mengalihkan perhatian mereka dari tiras dan jumlah
pembaca yang besar ke target khalayak yang spesifik (niche market), karena dianggap lebih efektif
(Junaedhie, 1995: 195).
Kehadiran televisi sempat mengganggu keberadaan majalah,
terutama majalah mingguan yang bersifat umum, karena para pengiklan beralih ke
televisi yang memiliki jangkauan khalayak lebih luas. Namun hal tersebut tidak
berlaku pada mass magazine dan majalah mingguan tersegmentasi. (Rivers,
1983: 6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar