Seiring era Reformasi yang
dikumandangkan dari Sabang sampai Merauke oleh para Reformis, menggantikan era
totaliterisme Soeharto, maka dunia jurnalisme kita mendapatkan angin segar
dalam menyampaikan informasi kepada khalayak umum tanpa takut adanya ancaman
pembredelan.
Tak kurang dari 32 tahun
dunia jurnalisme kita mandul dan harus berfungsi sebagai corong pemerintahan
Orde Baru yang jauh dari idealisme pers sebagai kontrol sosial. Bahkan sejak
akhir masa kekuasaan Soekarno (orde lama), pun dunia jurnalisme kita telah
diarahkan menjadi corong pemerintahan. Di era orde lama, institusionalisme pers
yang berkembang adalah bagaimana sebuah lembaga penerbit pers dapat melibatkan
diri dalam pertentangan antar partai. Masing-masing media cetak berfungsi
sebagai corong perjuangan partai-partai peserta pemilu 1955. Beberapa partai
seperti PNI mempunyai Suluh Indonesia, Masyumi mempunyai Abadi, NU mempunyai
Duta Masyarakat, PSI mempunyai Pedoman dan PKI mempunyai Harian Rakyat. Jadi
fungsi media di era Orde Lama tak lain sebagai media perjuangan partainya
masing-masing.
Sejak pencabutan pengaturan
mengenai SIUPP dan kebebasan penyajian berita serta informasi di berbagai
bentuk pada tahun 1999 disahkan UU Pers No 40/1999. Mulai saat itu dunia
jurnalisme kita lepas dari pemasungan yang selama akhir masa Orde lama dan orde
baru menjerat demokratisasi pers kita. Tak lama kemudian dalam merayakan
kemenangan sistem demokrasi muncul berbagai macam ribuan media massa baik cetak
maupun elektronik yang tak terbendung lagi memberikan warna kebebasan dalam
dunia jurnalisme kita.
Namun gagasan otonomi pers
selama ini disalahtafsirkan menjadi kebebasan pers yang tanpa batas etika.
Bahkan hemat saya, kebebasan pers di era Reformasi telah jauh meninggalkan kode
etik jurnalistik dan lebih liberal dari pers Amerika yang menganut paham
leberalisme pers sekalipun. Hal itu terlihat dari beberapa media pers kita yang
menyebarkan berita mengarah ke dunia pornografi, kriminal, kekerasan serta
mengabaikan nilai-nilai perjuangan kemanusiaan. Mengingat sesuai dengan UU No
40 Tahun 1999 tentang pers secara tegas sebagai kedaulatan rakyat, dan
berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
BAGAIMANA dengan di
Indonesia? Tokoh pers nasional, Soebagijo Ilham Notodidjojo dalam bukunya “PWI
di Arena Masa” (1998) menulis, Tirtohadisoerjo atau Raden Djokomono
(1875-1918), pendiri mingguan Medan Priyayi yang sejak 1910 berkembang jadi
harian, sebagai pemrakarsa pers nasional. Artinya, dialah yang pertama kali
mendirikan penerbitan yang dimodali modal nasional dan pemimpinnya orang
Indonesia.
Dalam perkembangan
selanjutnya, pers Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan kemerdekaan
bangsa ini. Haryadi Suadi menyebutkan, salah satu fasilitas yang pertama kali
direbut pada masa awal kemerdekaan adalah fasilitas percetakan milik perusahaan
koran Jepang seperti Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), dan Sinar
Baroe (Semarang)
(“PR”, 23 Agustus 2004).
Menurut Haryadi, kondisi pers
Indonesia semakin menguat pada akhir 1945 dengan terbitnya beberapa koran yang
mempropagandakan kemerdekaan Indonesia seperti, Soeara Merdeka(Bandung), Berita
Indonesia (Jakarta),
dan The Voice of Free Indonesia.
Seperti juga di belahan dunia
lain, pers Indonesia diwarnai dengan aksi pembungkaman hingga pembredelan.
Haryadi Suadi mencatat, pemberedelan pertama sejak kemerdekaan terjadi pada
akhir 1940-an. Tercatat beberapa koran dari pihak Front Demokrasi Rakyat (FDR)
yang dianggap berhaluan kiri seperti Patriot, Buruh,
dan Suara Ibu Kota dibredel
pemerintah. Sebaliknya, pihak FDR membalas dengan membungkam koran Api
Rakjat yang
menyuarakan kepentingan Front Nasional. Sementara itu pihak militer pun telah
memberedel Suara Rakjat dengan alasan terlalu banyak
mengkritik pihaknya.
Jurnalisme kuning pun sempat
mewarnai dunia pers Indonesia, terutama setelah Soeharto lengser dari kursi
presiden. Judul dan berita yang bombastis mewarnai halaman-halaman muka
koran-koran dan majalah-majalah baru. Namun tampaknya, jurnalisme kuning di
Indonesia belum sepenuhnya pudar. Terbukti hingga saat ini masih ada
koran-koran yang masih menyuguhkan pemberitaan sensasional semacam itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar