Mitos
yang Tersembunyi dibalik Candi Borobudur
Arca dalam Stupa
13 september 2012 aku memang sudah berada dijogja untuk menikmati liburanku
dari kebisingan kota metropolitan yang membosankan. hari keduaku liburan disana
tak pernah ada rencana apapun untuk pergi yang pasti aku mengikuti langkah
kakiku. Aku masi bingung untuk pergi kemana, karna aku tak tahu apapun daerah
ini. Aku mulai bertanya pada orang disekitar seolah-olah mereka pikir ku bodoh, sebenarnya memang aku buta
akan arah dan tujuan. Aku tak tahu harus bertanya pada siapa lagi. Aku terus
berjalan dan terus berjalan tanpa ku tahu arah tujuanku dimana. Sampai akhirnya
ku bertemu pada seorang tukang parkir, aku percaya dan aku yakin bahwa dia tak
sama seperti orang-orang lain yang menipu ku terus. Hingga akhirnya ku
beranikan diri untuk bertanya arah kepadanya, ternyata benar dia sungguh baik padaku
dan diapun merasa kasian melihatku kebingungan mencari arah.
Dan akhirnya aku tahu dimana aku harus pergi, kemana aku harus
berjalan. Kupusatkan untuk menuju sebuah tempat yang megah nan elok. Suatu
tempat peribadatan penganut agama Buddha Mahayana.
Akhirnya langkahku pun tak buta lagi aku
menunggu dan menunggu kendaraan yang akan kutunggangi. Sekian lama ku menunggu
akhirnya sebuah bus mini menghampiriku, aku bertanya tujuan bus itu pada seorang
kenek bus tersebut. Ku tuggangi bus itu hampir ku mulai bosan karena lamanya ku
menunggu dan akupun sampai juga di sebuah terminal kecil yang tak tahu seberapa
jauh lagi untuk menuju tempat itu. Aku seperti orang bodoh yang tak tahu harus
melangkah kemana lagi, sampai akhirnya seorang menghampiriku dan seorang lagi
juga menghampiri ku menawarkan tumpangan untuk menuju tempat yang ingin ku
singgahi. Disitu aku bingung untuk memilih antara becak ataupun andong yang
harga keduanya tak bersahabat. sampai akhirnya kebingunganku pun memutuskan untuk
memilih sebuah becak motor yang harganya sudah fix disitu. tak lama ku
tunggangi becak motor tersebut ku telah sampai di pintu masuk candi tersebut.
Aku terlena akan keagungan candi sampai-sampai aku tak sadar kalau aku telah
tertipu oleh tukang becak tersebut. Aku tak peduli yang pasti candi itu berada
tepat di bola mataku. Aku terbuai lagi akan penampakan candi yang sungguh
menakjubkan, yang sungguh mempesona akan keindahannya, dan ingin sekali ku
singgahi setiap saat. Itulah tempat dimana aku impikan tuk menyentuh sebuah
mitos akan keberhasilan. aku tak tahu pasti tentang mitos tersebut tapi yang
pasti aku mulai melangkahkan kakiku menuju candi Borobudur yang amat sangat menyilaukan
mataku. Yang ku tahu tentang candi Borobudur ini masih digunakan sebagai tempat
ziarah keagamaan, tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan
mancanegara berkumpul di candi ini untuk memperingati trisuci waisak.
Pertama kali kakiku menginjakkan kaki candi
Borobudur yang dijuluki “kamadhatu” yang melambangkan manusia yang masih dipenuhi
oleh nafsu yang rendah. Selanjutnya arah kakiku mengarah pada lantai empat yang
biasa dipanggil dengan sebutan “rupadhatu” yang melambangkan kehidupan manusia
yang sudah mampu mengendalikan hawa nafsu. Dan pada akhirnya kaki ini menuju
lantai kelima sampai ketujuh yang kulihat disekitar dinding tak berelief
sedangkan terasnya berbentuk lingkaran. Tingkatan ini dinamakan “arupadhatu”
yang melambangkan alam atas, dimana manusia sedah bebas dari segala keinginan
dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Arca Buddha yang
terdpat dicandi Borobudur berjumlah 504 buah dengan berbagai posisi sikap
tangan yang berbeda-beda karena mempunyai makna yang berbeda pula. Sungguh
menakjubkan bagaimana mahakarya sebuah candi yang disusun dari batu-batu dengan
relief-relief tanpa menggunakan perekat, serta sarat akan ajaran untuk hidup
baik menuju nirwana. Aku tertegun atas apa yang orang-orang terdahulu yang
mendirikan sebuah bangunan candi yang amat elok akan kemegahannya tanpa
perelatan yang canggih
akupun tak bisa berkata-kata lagi aku hanya bisa memandangi
bangunan yang sungguh menakjubkan ini, sampai aku tak sadar kalau matakupun
ikut berkaca-kaca melihat semua keajaiban semua ini. Selagi ada kesempatan
disini akupun mulai tuk mencoba sebuah mitos yang mungkin bisa dipercaya karna
mitos ini sudah beredar dimasyarakat. Yang ku tahu mitos ini terkenal, biasanya
disebut dengan nama “kunto bimo” yaitu arca dalam stupa yang konon dapat
mengabulkan permintaan. Stupa yang dimaksud adalah stupa pada sebelah kanan
pada teras lingkaran yang pertama. Menurut cerita bila kita berhasil menyentuh
bagian tertentu dari arca tersebut sambil mendo’akan permohonan, maka keinginan
kita akan terkabul bagian yang disentuh adalah posisi tangan “mudra” untuk pria
dan teapak kaki untuk wanita.
Aku tak tahu apa kebenaran dari mitos ini yang
pasti aku mencobanya sebelum aku mengetahui kebenarannya. Aku mencoba untuk
menyentuh bagian telapak kaki dari stupa tersebut aku tak dapat mencapainya
karna telapak kakinya tersembunyi. aku berusaha untuk menggapainya aku tak tahu
sudah menyentuhnya apa belum yang ku tahu aku telah melakukannya. setelah itu
aku mengelilingi teras candi bagian ketiga dari atas ternyata kondisi candi
Borobudur sangatlah memprihatinkan karena kondisinya yang hampir saja kritis
oleh gempa vulkanik gunung merapi yang terjadi waktu itu. Tak bisa leluasa
menikmati eksotiknya panorama candi karena terganggunya pandangan mata ini oleh
perbaikan stupa-stupa candi. Melihat keadaan candi Borobudur saat ini aku
merasa miris karena banyak bebatuan yang tergantikan.
Patung Singa Urung
Waktu aku turun aku ingat bahwa ada lagi satu
mitos yang ku ketahui mengenai singa urung, yaitu sebutan masyarakat sekitar
untuk sepanjang arca singa pada sebelah kanan dan kiri tangga naik candi. Menurut
cerita yang ku dengar, sepasang kekasih yang lewat diantara kedua arca tersebut
hubungannya tidak akan sampai pada jenjang pernikahan. “urung” dlam bahasa jawa
dapat diartikan gagal. Sebenranya aku tak percaya akan mitos tersebut tapi aku
juga masih ragu akan kepastiannya,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar